makalah budidaya tiram mutiara
MAKALAH MULOK
BUDIDAYA TIRAM MUTIARA
Disusun
oleh :
ANGGITA DWI OKTAVIANI
DERIE ERAWAN
DETA OKTARIANI
DHIYA NAJMAH
DICKY DWI AZHARY
DWI SHERLI VIANI
M. ADITYA RAMADHAN
RATNA JUWITA
DINAS PENDIDIKAN KOTA BENGKULU
SMA NEGERI 6 KOTA BENGKULU
T.A. 2012/2013
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Puji dan
syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan
harapan. Makalah ini berjudul “BUDIDAYA TIRAM MUTIARA”, membahas
cara-cara untuk membudidayakan, memproduksi, dan lainnya dari tiram mutiara.
Dalam
kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada guru MULOK
SMA Negeri 06 Kota Bengkulu, Ibu Irma yang
telah banyak memberikan pengarahan dan masukan dalam penulisan makalah ini
sehingga berjalan lancar.
Bengkulu, Februari 2013
Kelompok IV
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi laut yang sangat besar
dalam usaha budidaya. Potensi ini di dukung oleh tersediannya bahan dasar yang
cukup banyak, persyaratan lingkungan yang baik, serta kondisi musim yang
menguntungkan untuk berbagai jenis komoditas laut yang akan dibudidayakan.
Salah satu potensi laut dari non ikan yang dapat di budidayakan adalah tiram
mutiara (Pinctada maxima) yang pada intinya akan menghasilkan
mutiara.
Budidaya tiram mutiara sudah cukup lama berkembang di
Indonesia. Bahkan sampai pada saat ini ada lebih 65 perusahan, baik dalam bentuk
modal asing maupun dalam bentuk modal dalam negeri. Tuntutan utama dalam
budidaya mutiara adalah tersedianya tiram mutiara ukuran operasi dalam jumlah
yang cukup, tepat waktu, dan berkesinambungan. Namun, keuntungan
penyediaan tiram tidak mungkin hanya mengandalkan hasil penyelaman di alam,
apalagi hasil penyelaman di alam sangat fluktuatif, tergantung musim, dan
ukurannya tidak seragam. Mutiara yang ukurannya di bawah standar harus
dipelihara sampai besar sehingga diperlukan waktu dan tambahan biaya yang tidak
sedikit.
Menghadapi situasi yang demikian sangat perlu
diusahakan kegiatan yang mengarah pada kegiatan penyediaan benih melalui
pembenihan buatan sehingga dapat menjadi suatu
unit budidaya tiram yang akan menghasilkan produksi mutiara yang jauh lebih
besar. Akibat dari keterbatasan ini maka dalam usaha budidaya tiram mutiara,
perlu melakukan kegiatan untuk mempelajari sifat dan kebiasan hidup tiram
mutiara, baik dari persyaratan lingkungan pemeliharaan, metode atau cara
pemeliharaan dan peralatan yang digunakan untuk memproduksi mutiara yang
berkualitas. Mengingat lokasi budidaya di laut yang dipengaruhi oleh alam dan
sekitarnya, sehingga membudidayakan tiram mutiara haruslah menyesuaikan dengan
kondisi alam atau perairan sekitarnya sebagai tempat hidupnya dengan kehidupan
biologis dan fisiologis dari tiram mutiara yang dipelihara, dengan tujuan agar
tiram hidup dengan baik.
1.3. Rumusan Masalah
Rumusan
masalah dalam makalah ini adalah
1. Bagaimana metode pembuatan sarana budidaya?
2.
Bagaimana teknik produksi tiram mutiara?
3.
Bagaimana teknik budidaya tiram mutiara?
4.
Apa saja jenis dan teknik kultur pakan alami skala murni dan semi massal fitoplankton yang digunakan sebagai pakan larva tiram mutiara?
5.
Apa saja hama dan penyakit pada
tiram
mutiara?
1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah
1.
Mengetahui
Metode Pembuatan Sarana Budidaya.
2.
Mengetahui
Teknik Produksi Tiram Mutiara
3.
Mengetahui
Teknik Budidaya Tiram Mutiara
4.
Mengetahui
Jenis dan Teknik Kultur Pakan Alami Skala Murni dan Semi Massal fitoplankton yang Digunakan Sebagai Pakan Larva Tiram
Mutiara.
5.
Mengetahui
Hama dan penyakit Tiram mutiara
1.3. Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini
adalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah
1. memberikan informasi
tentang metode pembuatan sarana budidaya
2. memberikan informasi tentang teknik produksi tiram mutiara
3.
memberikan informasi tentang teknik budidaya tiram mutiara
4.
memberikan informasi tentang jenis dan teknik kultur pakan alami skala murni dan semi massal fitoplankton yang digunakan sebagai pakan larva tiram mutiara
5.
memberikan informasi tentang hama dan penyakit pada tiram mutiara
BAB II
HASIL
DAN PEMBAHASAN
2.1. Metode Pembuatan
Sarana Budidaya Tiram Mutiara
Sarana pemeliharaan tiram
mutiara pada umumnya dilakukan dengan metode pemeliharaan gantungan (hanging
culture method), pada prinsipnya metode ini terdiri dari alat gantungan dan
tempat untuk meletakkan gantungan. Metode pemeliharaan gantungan dibagi lagi
menjadi dua metode yaitu, metode rakit terapung (floating raft method)
dan metode tali rentang (long line method)
2.1.1. Metode Rakit Apung (floating raft method)
Rakit apung selain berfungsi sebagai pemeliharaan
induk, pendederan, dan pembesaran, juga berfungsi sebagai aklimatisasi
(beradaptasi) induk pasca pengangkutan. Menurut Priyono (1981), pemeliharaan
mutiara umumnya dilakukan dengan metode rakit apung. Cara ini banyak digunakan
karena lebih mudah dalam pengawasan serta hasilnya lebih baik dari pada cara
pemeliharaan dasar (botton culture method). Bahan utama metode ini
adalah kayu rakit (kayu atau bambu), pelampung (drum minyak, fiber glass,
styrofoam), tali-tali dan jangkar (Mulyanto, 1987).
2.1.2 Metode Tali Rentang (long
line method)
Menurut Winanto, et. al. (1988), bahwa
pelampung yang digunakan adalah pelampung dari plastik, styrofoam, dan
fiberglass. Tali rentang yang digunakan adalah dari bahan polyethelen atau
sejenisnya dipasang diantara tali yang satu dengan yang lainnya yang diberi
jarak 5 meter dan panjang tali rentang tergantung dari luas budidaya. Metode
tali rentang dapat diterapkan pada perairan yang dasarnya agak dalam atau dasar
perairan agak keras.
2.2. Teknik Budidaya Tiram
Mutiara (Pinctada maxima)
Pada prinsipnya, untuk dalam keberhasilan pemeliharaan
tiram mutiara untuk menghasilkan mutiara bulat baik kualitas maupun kuantitas
sangat ditentukan oleh proses penanganan tiram sebelum operasi pemasangan inti,
saat pelaksanaan operasi, pasca operasi dan ketrampilan dari teknisi serta
sarana pembenihan tiram yang memadai.
Pada umumnya tiram mutiara yang akan dioperasi inti
mutiara bundar berasal dari hasil penangkapan dialam yang dikumpulkan dari
kolektor dan nelayan. Namun ukuran cangkang mutiara terdiri dari macam-macam
ukuran yang nantinya disortir menurut ukuran besarnya mutiara, hal inilah yang
menjadi penyebab sehingga tidak dapat melaksanakan operasi dalam jumlah yang
banyak. Sedangkan hasil pembenihan dari hatchery dapat diperoleh ukuran
yang relatif seragam ukurannya sehingga dapat dilakukan operasi pemasangan inti
mutiara dalam jumlah yang banyak. Namun produksi benih belum dapat dikembangkan
secara masal. Pemeliharaan spat tiram disesuaikan dengan kondisi perairan
disekitarnya. Pemeliharaan benih (spat) yang masih kecil berukuran
dibawah 5 cm dipelihara pada kedalaman 2-3 cm sedangkan spat dengan ukuran di
atas 5 cm dipelihara pada kedalaman lebih dari 4 cm (Sutaman, 1993).
2.2.1. Penanganan Tiram Sebelum
Operasi Pemasangan Inti Mutiara
Dengan demikian kalau kita tinjau mengenai terjadinya mutiara, untuk saat
ini dapat dibagi menjadi dua yaitu:
·
Mutiara asli yang terdiri dari mutiara alam (natural
pearl) dan mutiara pemeliharaan (cultured pearl).
·
Mutiara tiruan/imitasi (imitation pearl) (Dwiponggo,
1976).
Mutiara
pemeliharaan
Sebelum proses penanganan tiram mutiara (Pinctada maxima) untuk
pemasangan inti mutiara, harus dilakukan beberapa proses yaitu sebagai berikut:
a.
Seleksi bibit
Benih tiram mutiara dari hasil penyelaman (natural) maupun dari
hasil pembenihan (breeding) diseleksi untuk mencari tiram yang telah
siap untuk dioperasi pemasangan inti. Menurut Sutaman (1993), bahwa benih
siap operasi adalah tiram yang kondisinya sehat, tidak cacat, telah berumur 2-3
tahun jika benih itu di dapat dari usaha budidaya dan berukuran diatas 15 cm
jika benih tersebut didapat dari hasil penangkapan. Benih tiram mutiara yang
telah terkumpul dari hasil seleksi untuk dioperasi harus dipelihara dalam rakit
pemeliharaan khusus supaya memudahkan dalam penanganan saat operasi akan
berlangsung.
b.
Ovulasi buatan
Ovulasi buatan bertujuan agar pada saat operasi tiram mutiara tidak sedang
dalam keadaan matang telur, karena tiram yang matang telur jaringan tubuhnya
sangat peka terhadap rangsangan dari luar, sehingga inti yang di pasang akan
dimuntahkan kembali. Ovulasi buatan ini merupakan kegiatan yang sengaja
dilakukan untuk memaksa tiram mutiara agar mengeluarkan telur atau spermanya.
Menurut Mulyanto (1987), bahwa cara ovulasi buatan yaitu dengan menaik turunkan
keranjang pemeiharaan kedalam air dengan cepat sampai telur atau sperma keluar
dari tiram.
Selain dari perlakuan menaik turunkan keranjang
pemeliharaan tiram, kegiatan lain yang dilakukan yaitu masa pelemasan tiram (yukuesey)
dimana tiram mutiara yang siap operasi di kurangi jatah pakannya dan membatasi
ruang geraknya sehingga tiram menjadi lemah dan kepekaannnya menjadi berkurang
pada saat inti dimasukkan (Mulyanto, 1987).
c. Pembukaan
cangkang
Setelah tiram mutiara diistrahatkan selama 1 hari
setelah proses ovulasi buatan selanjutnya dlakukan proses pembukaan cangkang
tiram mutiara. Dalam kegiatan ini ada 3 cara yang sering digunakan untuk
memaksa tiram secara alami membuka cangkangnya yaitu dengan merendamnya dalam
air dengan kepadatan yang tinggi, sirkulasi air dan cara yang terakhir yaitu
pengeringan (Winanto, et. al. 1988).
Setelah cangkang terbuka akibat dari perlakuan ini,
cangkang tersebut segera ditahan dengan forsep dan di pasang baji pada
mulut tiram supaya cangkang selalu dalam keadaan terbuka. Selanjutnya 1 jam
sebelum operasi, tiram-tiram tersebut diletakkan didalam dulang dengan bagian
engsel atau dorsal disebelah bawah (Sutaman, 1993).
2.2.2 Operasi Pemasangan Inti Mutiara Bulat
Untuk menghasilkan mutiara pada tiram ada dua cara yang umum di lakukan
dalam operasi pemasangan inti mutiara yaitu:
a. Pemasangan inti mutiara bulat
b. pemasangan inti mutiara setengah bulat (blister).
Operasi pemasangan inti mutiara bulat merupakan bagian
terpenting dalam menentukan keberhasilan pembuatan mutiara bulat. Ada beberapa
cara yang perlu dilakukan dalam operasi pemasangan inti mutiara bulat adalah
sebagai berikut:
1) Sebelum pemasangan inti, tiram siap
operasi di kumpulkan diatas meja operasi.
2) Membuat potongan mantel dengan pengambilan
mantel dari tiram donor dan mengguntingnya sekitar lebar 5 mm dan panjang 4 cm.
kemudian mantel dipotong membentuk bujur sangkar dengan sisi-sisi 4 mm
(Sutaman, 1993). Menurut Tun dan Winanto (1988), mantel yang diambil hendaknya
dipilih tiram yang mudah dan aktif.
3) Pemasangan inti mutiara bulat.
Dalam pemasangan inti perlu diperhatikan ukuran inti
yang akan dipasang. Umumnya ukuran inti mutiara yang dimasukkan kedalam gonad
tiram mutiara jenis Pinctada maxima yaitu berkisar antara
3,03-9,09 mm (Mulyanto, 1987).
2.2.3. Penanganan Tiram Pasca
Operasi
Menurut Mulyanto (1987), mengemukakan bahwa
pemeliharaan tiram mutiara pasca operasi sangat menentukan penyembuhan dan
pembentukan mutiara yang dihasilkan. Setelah tiram dioperasi, dengan cepat dan
hati-hati dimasukkan kembali kedalam air dan digantung pada rakit pemeliharaan
yang letaknya paling dekat rumah operasi dan pada tempat yang pergerakan airnya
paling kecil. Tiram memerlukan waktu istrahat yang cukup 1-3 bulan untuk
menyembuhkan luka shock akibat dari operasi pemasangan inti.
Setelah masa penyembuhan, dilakukan pemeriksaan
terhadap tiram untuk mengetahui apakah inti yang telah dipasang masih dalam
posisi semula atau dimuntahkan. Tiram yang akan diperiksa di tahan dengan baji
lalu diletakkan pada shell holder dan diperiksa. Apabila inti masih
berada didalam, maka bagian tersebut akan kelihatan sedikit menonjol (Winanto, et.
al., 1988)
Pemeriksaan inti mutiara yang dilakukan oleh
perusahan-perusahan yang berskala besar dilakukan dengan cara menggunakan alat
rontgen. Pemeriksaan dengan alat ini dilakukan sekitar 45 hari setelah masa
tento terakhir atau kurang lebih 3 bulan setelah pemasangan inti. Tiram yang
masih terdapat inti didalam cangkangnya dalam posisi semula dipelihara kembali
hingga waktu panen tiba. Tiram yang memuntahkan intinya dan kondisi tubuhnya
masih baik dapat diulangi pemasangan inti mutiara bulat atau setengah bulat (blister)
(Mulyanto, 1987).
2.2.4. Panen
Menurut Mulyanto (1987),
bahwa setelah masa pemeliharaan 1,5-2 tahun sejak operasi pemasangan inti maka
tiram dapat dipanen dengan kecermatan dan ketepatan yang benar agar hasil
mutiara dapat berkualitas baik. Menurut Tun dan Winanto (1988), di Indonesia
panen akan lebih baik menguntungkan apabila dilakukan pada saat musim hujan,
karena untuk mengurangi mortalitas pada waktu pemasangan inti mutiara bulat
kedua. Tekanan tinggi, suhu rendah dan relatif konstan serta suasana
remang-remang dapat menyebabkan sel penghasil nacre lebih aktif mensekresikan
nacre, sehingga kilau dan warnanya lebih baik walaupun pelapisan nacrenya
berlangsung lebih lambat.
Cara pemanenan dapat dilakukan sebagai berikut : tiram
yang sudah dipanen diletakkan di atas meja operasi. Kemudian bagian mantel dan
insang yang menutupi gonad disisihkan sehingga mutiara akan kelihatan dan
tampak menonjol dengan sedikit bercahaya. Lalu dibuat sayatan pada organ
tersebut seperti pada saat pemasangan inti itiara bulat, maka mutiara dengan mudah
dapat dikeluarkan dari gonad tiram.
2.3. Teknik Produksi
Dalam kegiatan untuk memproduksi spat dapat dimulai
jika semua sarana operasional telah tersedia, terutama pakan hidup dan induk.
Hal ini yang perlu disiapkan lebih dahulu jauh hari sebelum pembangunan fisik
dimulai. Kegiatan pembenihan ini diawali dengan kultur pakan hidup, dalam arti
bahwa jumlah pakan yang dikulturkan harus cukup untuk pakan induk, larva, dan
spat. Kegiatan selanjutnya adalah seleksi induk, pemijahan, pemeliharaan larva,
pemeliharaan spat, dan pendederan.
2.3.1. Seleksi induk
Dalam kegiatan seleksi induk tiram mutiara dapat
dilakukan di atas rakit apung di laut atau di laboratorium. Induk-induk yang
akan diseleksi dengan posisi berdiri atau bagian dorsal di bawah. Kemudian,
biasanya induk akan membuka cangkang karena kekurangan oksigen. Proses
pembukaan cangkang hendaknya jangan dipaksakan karena dapat menyebabkan
cangkang pecah. Setelah cangkang terbuka sebagian , segera digunakan alat
pembuka cangkang (shell opener) agar cangkang terbuka. Selanjutnya, pada
cangkang segera dipasang baji dari kayu sebagai pangganjal agar cangkang tetap
terbuka sebagian.
Untuk melihat posisi gonad, digunakan alat spatula.
Dengan spatula, insang di sibakkan sehingga posisi gonad dapat terlihat dengan
jelas dan secara visual tingkat kematangan dapat diketahui. Secara morfologi,
tiram mutiara dewasa dan telah mencapai matang gonad penuh yaitu (fase IV)
dapat diketahui, dengan kondisi gonad adalah seluruh permukaan organ bagian
dalam tertutup oleh gonad, kecuali bagian kaki (Winanto et al., 2002).
Klasifikasi tiram mutiara yang memenuhi syarat untuk
dijadikan induk berukuran antara 17-20 cm (DVM). Persyaratan yang paling
penting adalah tingkat kematangan gonad. Induk yang berasal dari hatchery,
khususnya induk jantan, ada kalanya berukuran 15 cm (DVM) sudah matang gonad
penuh. Induk-induk yang sudah diseleksi atau sudah memenuhi syarat segera
dibawa ke laboratorium untuk dipijahkan.
Pengelolaan induk di laboratorium dalam kondisi
terkendali telah dilakukan oleh para ahli. Para ahli tersebut memelihara induk Pinctada
maxima di laboratorium dilakukan di dalam bak fiberglass kapasitas 1
ton. Selama pemeliharaan digunakan sistem air mengalir dan diberi pakan
tambahan fitoplankton. Aplikasi pakan hidup diberikan dengan variasi
komposisi Isocrysis galbana dan atau Pavlova luthri dengan Tetraselmis
tetrathele atau Chaetoceros sp. dengan perbandingan 1:1. jumlah
pakan yang diberikan antara 25.000- 30.000 sel/cc/hari.
2.3.2. Pemijahan
Pemijahan tiram mutiara secara alami sering terjadi
pada tiram yang telah dewasa. Dalam kondisi gonad matang penuh, tiram akan
segera memijah jika terjadi perubahan lingkungan perairan walaupun sedikit.
Kemungkinan lain adalah shock mekanik yang terjadi karena perlakuan
kasar pada saat cangkang dibersihkan atau akibat perbedaan tekanan. Lalu
dibawah ke tempat budidaya yang relatif dangkal sehingga memacu tiram untuk
memijah.
Menurut Winanto (2004) rekayasa pemijahan perlu
dilakukan jika secara alami tiram tidak mau memijah di dalam bak pemijahan. Ada
dua metode yang digunakan dalam perlakuan pemijahan, yaitu metode manipulasi
lingkungan dan metode rangsangan kimia.
a.
Metode manipulasi Lingkungan
Metode pertama manipulasi
lingkungan yang biasa di gunakan dan resiko kegagalannya relatif kecil adalah
metode kejut suhu (thermal shock), fluktuasi suhu, dan ekspose. Metode
kejut suhu dilakukan dengan cara, jika suhu air di tempat pemijahan mulanya
sekitar 28ºC di tinggikan menjadi 35ºC, ini di naikkan secara bertahap dengan
bantuan alat pemanas (heater). Induk-induk akan memijah setelah 60-90
menit dari perlakuan. Biasanya yang lebih dulu memijah adalah induk jantan dan
di susul oleh induk betina. Sperma yang keluar seperti asap berwarna putih.
Metode yang ke dua adalah
fluktuasi suhu, jika suhu awal tempat pemijahan sekitar 28ºC di
tinggikan menjadi 33-45ºC . jika induk belum memijah setelah 60-90 menit maka
suhu di turunkan kembali ke suhu awal, perlakuan ini di lakukan terus-menerus
sampai induk memijah.
Metode yang ketiga yaitu metode ekspose juga sering di lakukan dan ada
kalanya di kombinasikan dengan metode kejut suhu. Induk di letakkan di tempat
teduh, lalu di biarkan selama 30-45 menit, pada kondisi tertentu, misalnya
induk belum mencapai fase matang gonad (fase III) maka perlu di lakukan ekspose
lebih lama, bisa mencapai 1-2 jam. Setelah masa ekspose, induk di kembalikan
lagi ke tempat bak pemijahan. Pada kasus ini bisa di kombinasi antara metode
ekspose dengan metode kejut suhu atau fluktuasi suhu.
b. Rangsangan
kimia
Dalam pemijahan dengan menggunakan bahan kimia juga
sering di lakukan, tetapi hasil pembuahan (fertilisasi) biasannya kurang baik.
Seperti halnya manipulasi lingkungan, dengan bahan kimia juga bertujuan untuk
merubah lingkungan mikro tempat pemijahan. Secara ekstrim bahan kimia dapat
dengan segera merubah lingkungan pH air menjadi asam atau basa, yamg bertujuan
memberikan shock fisiologis pada induk sehingga terpaksa mengeluarkan sel-sel
gonadnya (Winanto, 2004). Jenis bahan kimia yang umum di gunakan antara lain
hydrogen peroksida (H2O2), natrium hidroksida (NaOH),
ammonium hidroksida (NH4OH), amoniak (NH4), dan larutan
tris (trace buffer).
Tabel 2.
Perkembangan Pinctada maxima setelah telur di buahi.
Waktu setelah
Pembuahan
|
Temperature air (ºC)
|
Perkembangan
|
15 menit
|
28
|
Penonjolan polar body I
|
25 menit
|
28
|
Penonjolan polar body II
|
40 menit
|
9
|
Penonjolan polar lobe I, permulaan cleavage
|
45 menit
|
30
|
Stage 2 sel
|
1 jam
|
30
|
Stage 4 sel
|
1½ jam-3 jam
|
28-30
|
Stage 8 sel
|
2½ jam-3½ jam
|
27-30
|
Stage morula
|
3½ jam-4 jam
|
27-31
|
Blastula mulai megadakan rotasi
|
permulaan gastrula5½
jam28-30Perkembangan flagelata apical7½ jam28-30Kulit tiram hampir menutupi
tubuh18½ jam-19 jam26-30 (D shape)
2.4. Manajemen Pakan
Kultur Phytoplankton
Pakan alami untuk tiram mutiara yaitu jenis-jenis
flagelata berukuran ≤ 10 µ. Beberapa jenis mikroalga yang umum di berikan untuk
larva tiram mutiara yaitu : Isocrysis galbana, Pavlova lutheri, Chaetocheros.
Sp, Nannoclorophysis. Sp, dan Tetraselmis chuii.
Pemeliharaan pakan alami ini dilakukan secara
bertahap, hal ini untuk menjaga kualitas, kuantitas serta kemurnian pakan alami
tersebut. Yang dilakukan dengan menggunakan media agar, setelah terbentuk
koloni baru dipindahkan ke dalam tabung reaksi. Secara bertahap, koleksi,
isolasi dan perbanyakan meliputi kultur murni, semi masal dan masal (Winanto,
2004). Air laut yang digunakan sebagai media pemeliharaan harus melewati
saringan ukuran mikro dan saringan kapas, selanjutnya disterilisasi dengan
Autoclav. Komposisi pupuk yang di gunakan adalah sebagai berikut :
Tabel 3.
Komposisi pupuk untuk kultur plankton.
No
|
Jenis pupuk
|
Dosis (conway)
|
Dosis (guillard)
|
1
|
EDTA
|
45 gram
|
10 gram
|
2
|
NaH2PO42H2O
|
20 gram
|
10 gram
|
3
|
FeCI36H2O
|
1,5 gram
|
2,9 gram
|
4
|
H3BO3
|
33,6 gram
|
3,6 gram
|
5
|
MnCI2
|
0,36 gram
|
-
|
6
|
NaNO3
|
100 gram
|
3,6 gram
|
7
|
Na2SiO39H2O
|
-
|
100 gram
|
8
|
Trace Matel Solution
|
1 ml
|
5 gram/30 ml
|
9
|
Vitamin
|
1 ml
|
1 ml
|
10
|
Aquades sampar
|
1000 ml
|
1000 ml
|
Sumber : Ditjenkan, 2002
Makanan utama larva tiram mutiara adalah jenis alga
Isocrysis galbana dan Monocrysis lutheri, sehingga pakan ini
perlu disiapkan sebagai makanan awal dari larva dan harus dilakukan tiga hari
sebelum larva menetas.
1.
Kultur murni
Kultur murni pada skala laboratorium dapat menggunakan
pupuk atau media Guillard Conway. Pemeliharaan plankton pada skala
laboratorium dilakukan secara bertahap. Hal ini untuk menjaga kemurnian dan
kualitas stok. Untuk kultur murni dapat digunakan cawan Petri dengan media
agar. Setelah berbentuk koloni, diamati dengan mikroskop untuk mengetahui
apakah terjadi kontaminsi dengan jenis lain atau tidak. Jika masih terkontaminasi
maka harus dilakukan pemurnian ulang sehingga didapatkan koloni satu spesies
atau jenis Phytoplankton yang diinginkan selanjutnya, dilakukan
pemindahan untuk di ukur dalam tabung reaksi dengan menggunakan tabung reaksi
Ose.
Inokulum di dalam tabung reaksi dapat diperbanyak
secara bertahap sampai mencapai pertumbuhan puncak (blooming). Mulai
dipelihara 100 cc, kemudian diperbanyak lagi ke 200 cc, 300 cc, 500 cc dan 1000
cc. Lama pemeliharaan tergantung pada jenis dan tingkat kepadatan inokulum.
Jika tujuan kultur untuk stok dan mempertahankan kemurnian, dapat dilakukan
kultur tanpa pengudaraan selama 2-3 bulan untuk menghindari kemungkinan
terjadinya kontaminasi. Pada skala laboratorium jenis Isocrysis galbanai
dan Pavlova lutheri dapat dipelihara 5-10 hari dan Chaetoseros sp
dapat dipelihara selama 5-12 hari.Pemeliharaan berikut masih dalam skala
laboratorium pada volume 3-5 liter dengan waktu pemeliharaan 5-7 hari untuk Isocrysis
galbana 4-6 hari untuk Chaetoceros sedangkan untuk Pavlova lutheri
sama dengan Isocrysis galbana. Kultur skala laboratorium ini
dimaksudkan untuk menyediakan inokulum untuk pembenihan skala semi-masal atau
skala 30-80 liter.
2.
Kultur semi masal
Pada prinsipnya kultur semi masal dan masal sama
dengan kultur dalam skala laboratorium, hanya volumenya lebih besar. Untuk
kultur semi masal dan masal, air laut yang digunakan cukup disaring dengan
kantong saringan 60-80 mikron. Setelah media air laut disiapkan pupuk dimasukan
kemudian diaduk secara merata atau diberi pengudaraan. Setelah itu, bibit
dimasukan ke dalam media.
Untuk jenis Isocrysis galbana dan Pavlova
luthery yang dipelihara dalam skala laboratorium dan semi masal akan capai
kepadatan optimum setelah 4-6 hari. Kepadatan plankto yang baik diberikan
sebagai pakan, biasanya pada fase pertumbuhan optimum, awal fase pertumbuhan
tetap, atau setelah mencapai kepadatan optimum. Untuk mengetahui setiap fase
pertumbuhan tersebut perlu dilakukan pengamatan setiap hari, caranya dengan
pengambilan sample dan dapat dihitung kepadatannya dengan menggunakan
haemocytometer.
Berikut ini adalah kepadatan optimum beberapa jenis plankton :
a. Isocrysis galbana
: 9-10 juta
sel/cc
b. Pavlova lutheri
: 11-2 juta sel/cc
c. Tetraselmis tetrathele
: 5-8 juta sel/cc
d. Chaetoceros sp.
: 4-6 juta sel/cc
Bila kebutuhan pakan alami dalam jumlah besar maka
dapat dilakukan kultur skala masal, misalnya dengan volume pemeliharaan 1-5
ton. Pada kultur skala masal, kepadatan maksimum akan dicapai setelah 5-7
hari.Menurut Isnasetyo dan Kurniastuti (1995), pemanenan phytoplankton harus
dilakukan setelah pada saat puncak populasi, sisa zat hara masih cukup besar
sehingga dapat membahayakan organisme pemangsa karena pemberian phytoplankton
pada bak pemeliharaan larva. Apabila pemanenan terlambat maka telah banyak
terjadi kematian phytoplankton sehingga kualitasnya menurun.
Pemanenan phytoplankton dapat dilakukan 3 cara yaitu sebagai berkut :
- Penyaringan dengan plankton net.
- Pemanenan dengan memindahkan langsung bersama
media kultur.
- Cara pengendapan menggunakan bahan kimia, seperti
: Sodium hidroksida dan NaOH
3.
Penyimpanan bibit murni
Guna untuk kesinambungan kultur phytoplankton maka
perlu dilakukan pemeliharaan stok bibit murni. Martosudarno dan wulan (1990)
berpendapat bahwa untuk menyimpan bibit phytoplankton lebih lama, dapat
disimpan dalam kulkas (< 10º C) dengan syarat diperiksa setiap minggu atau
bulan untuk menjaga mutu phytoplankton tersebut. Kultur tidak perlu diberi aerasi
karena hanya menjadi sumber kontaminasi.
Kultur phytoplankton dapat di pelihara dengan beberapa
cara sebagai berikut
- Disimpan dalam media agar pada cawan Petri.
- Disimpan pada media agar miring pada tabung
reaksi.
- Disimpan dalam media cair pada tabung reaksi.
- Disimpan dalam media cair pada Erlenmeyer.
Penyimpanan stok bibit murni dalam media agar dapat
bertahan sampai 6 bulan. Penyimpanan stok murni dalam media cair dilakukan
dalam tabung reaksi volume 10 ml, diberi pupuk dan tanpa aerasi tetapi harus dilakukan
pengocokan setiap hari. Biakan stok murni ini diletakkan pada rak kulkas dengan
pencahayaan lampu TL. Penyimpanan stok murni dalam kulkas dapat bertahan selama
1 bulan dan sebiknya segra digunakan dan diganti dengan stok baru.Kendala yang
umum ditemukan dalam kultur phytoplankton adalah kontaminasi oleh
mikroorganisme lain seperti : Protozoa, bakteri, dan jenis phytoplankton
lainnya. Kontaminasi ini dapat bersumber dari medium (air laut, pupuk, udara
atau aerasi, wadah kultur serta inokulum)
2.5. Manajemen Kesehatan /Hama dan
Penyakit
Hama dan penyakit dapat
menyebabkan proses budidaya menjadi gagal, pertumbuhan tiram dapat terganggu
bahkan dapat mematikan tiram, untuk itu perlu dilakukan pengendalian. Hama
umumnya menyerang bagian cangkang. Hama tersebut berupa jenis teritip, racing,
dan polichaeta yang mampu mengebor cangkang tiram. Hama yang lain berupa hewan
predator, seperti gurita, bintang laut, rajungan, kerang hijau, teritip,
golongan rumpu laut dan ikan sidat.
Upaya pencegahan dengan cara
membersihkan hama-hama tersebut dengan manual pada periode waktu tertentu.
Penyakit tiram mutiara umumnya disebabkan parasit, bakteri, dan virus. Parasit
yang sering ditemukan adalah Haplosporidium nelsoni. Bakteri yang sering
menjadi masalah antara lain Pseudomonas enalia, Vibrio anguillarum, dan
Achromobacter sp. Sementara itu, jenis virus yang biasanya menginfeksi tiram
mutiara adalah virus herpes. Upaya untuk mengurangi serangan penyakit pada
tiram mutiara antara lain
a) Selalu memonitor salinitas agar dalam kisaran yang dibutuhkan untuk
menjaga kesehatan tiram,
b) Menjaga agar fluktuasi suhu air tidak terlalu tinggi, seperti
pemeliharaan tiram tidak terlalu dekat kepermukaan air pada musim dingin,
c) Lokasi bodi daya dipilih dengan kecerahan yang cukup bagus, dan
d) Tidak memilih lokasi pada
perairan dengan dasar pasir berlumpur.
2.6. Manajemen Kualitas Air
1. Faktor Ekologi
Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan
kelangsungan hidup tiram, diantaranya kualitas air, pakan, dan kondisi fisiologis
organisme. Batasan faktor ekologi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
lokasi budidaya adalah :
a. Lokasi
Lokasi usaha untuk budidaya tiram mutiara ini berada
di perairan laut yang tenang. Pemilihan lokasi pembenihan maupun budidaya berada
dekat pantai dan terlindung dari pengaruh angin musim dan tidak terdapat
gelombang besar. Lokasi dengan arus tenang dan gelombang kecil dibutuhkan untuk
menghindari kekeruhan air dan stress fisiologis yang akan mengganggu kerang
mutiara, terutama induk.
b. Dasar
Dasar perairan sebaiknya dipilih yang berkarang dan
berpasir. Lokasi yang terdapat pecahan-pecahan karang juga merupakan alternatif
tempat yang sesuai untuk melakukan budidaya tiram mutiara.
c. Arus
Arus tenang merupakan tempat yang paling baik, hal ini
bertujuan untuk menghindari teraduknya pasir perairan yang masuk ke dalam tiram
dan mengganggu kualitas mutiara yang dihasilkan. Pasang surut air juga perlu
diperhatikan karena pasang surut air laut dapat menggantikan air secara total
dan terus-menerus sehingga perairan terhindar dari kemungkinan adanya limbah
dan pencemaran lain.
d. Salinitas
Dilihat dari habitatnya, tiram mutiara lebih menyukai
hidup pada salinitas yang tinggi. Tiram mutiara dapat hidup pada salinitas 24
ppt dan 50 ppt untuk jangka waktu yang pendek, yaitu 2-3 hari. Pemilihan lokasi
sebaiknya di perairan yang memiliki salinitas antara 32-35 ppt. Kondisi ini
baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup tiram mutiara.
e. Suhu
Perubahan suhu memegang peranan penting dalam
aktivitas biofisiologi tiram di dalam air. Suhu yang baik untuk kelangsungan
hidup tiram mutiara adalah berkisar 25-30 0C. Suhu air pada kisaran
27 – 31 0C juga dianggap layak untuk tiram mutiara.
f. Kecerahan
Kecerahan air akan berpengaruh pada fungsi dan
struktur invertebrata dalam air. Lama penyinaran akan berpengaruh pada proses
pembukaan dan penutupan cangkang (Winanto, et. al. 1988). Cangkang tiram
akan terbuka sedikit apabila ada cahaya dan terbuka lebar apabila keadaan
gelap. Menurut Sutaman (1993), untuk pemeliharaan tiram mutiara sebaiknya
kecerahan air antara 4,5-6,5 meter. Jika kisaran melebihi batas tersebut, maka
proses pemeliharaan akan sulit dilakukan. Untuk kenyamanan, induk tiram harus dipelihara
di kedalaman melebihi tingkat kecerahan yang ada.
g. pH
Derajat keasaman air yang layak untuk kehidupan tiram
pinctada maxima berkisar antara 7,8- 8,6 pH agar tiram mutiara dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik. Pada prinsipnya, habitat tiram mutiara di perairan
adalah dengan pH lebih tinggi dari 6,75. Tiram tidak akan dapat berproduksi
lagi apabila pH melebihi 9,00. Aktivitas tiram akan meningkat pada pH 6,75 – pH
7,00 dan menurun pada pH 4,0-6,5.
h. Oksigen
Oksigen terlarut dapat menjadi faktor pembatas
kelangsungan hidup dan perkembangannya. Tiram mutiara akan dapat hidup baik
pada perairan dengan kandungan oksigen terlarut berkisar 5,2-6,6 ppm. Pinctada
maxima untuk ukuran 40-50 mm mengkonsumsi oksigen sebanyak 1,339 l/l,
ukuran 50 – 60 mm mengkonsumsi oksigen sebanyak 1,650 l/l, untuk ukuran 60 – 70
mm mengkonsumsi sebanyak 1,810 l/l.
i.
Parameter lain
1) Fosfat Kandungan fosfat yang lebih
tinggi dari batas toleransi akan mengakibatkan tiram mutiara mengalami hambatan
pertumbuhan. Fosfat pada kisaran 0,1001-0,1615 g/l merupakan batasan yang layak
untuk normalitas hidup dan pertumbuhan organisme budidaya. Lokasi budidaya
dengan fosfat berkisar antara 0,16-0,27 g/l merupakan kandungan fosfat yang
baik untuk budidaya mutiara.
2) Nitrat Kisaran nitrat yang layak
untuk organisme yang dibudidayakan sekitar 0,2525-0,6645 mg/l dan nitrit
sekitar 0,5-5 mg/l. Konsentrasi nitrit 0,25 mg/l dapat mengakibatkan stres dan
bahkan kematian pada organisme yang dipelihara.
3) Amoniak Batas toleransi organisma
akuatik terhadap amoniak berkisar antara 0,4-3,1 g/l. Pada kisaran yang lebih
tinggi dari angka tersebut dapat mengakibatkan gangguan pernafasan dan akhirnya
mengakibatkan kematian pada organisme. Pemilihan lokasi juga harus terhindar
dari polusi dan pencemaran air, misalnya pencemaran yang berasal dari limbah
rumah tangga, limbah pertanian, dan limbah industri. Pencemaran air akan
mengakibatkan kematian, baik spat maupun induk tiram mutiara. Selain itu
kegiatan mulai dari pembenihan sampai dengan budidaya induk tiram dapat dipilih
lokasi di sekitar pantai yang berdekatan dengan lokasi tempat tinggal pengelola
usaha budidaya. Hal ini untuk kemudahan dalam pengangkutan dan pemindahan induk
tiram mutiara, sehingga mengurangi risiko kerugian akibat kematian.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
- metode
pembuatan sarana budidaya tiram mutiara dengan metode rakit apung dan tali rentang
-teknik produksi dengan seleksi
induk dan pemijahan
- kultur pakan tiram mutiara adalah
kultur murni dan kultur semi massal
- hama menyerang cangkang tiram
dengan kemampuan mengebor cangkangnya
3.2. Saran
- tiram mutiara baik untuk di budidayakan
untuk berbagai kalangan
- dalam budidaya tiram mutiara,
harus ekstra hati-hati dan memperhatikan faktor penghambat serta hama yang
telah di bahas dalam makalah ini.
0 komentar:
Pertanyaan, kritik, saran, silakan :)